KSOP Kalianget Patut Dipertanyakan, BBM Bebas Diangkut Kapal Kayu

KSOP Kalianget Patut Dipertanyakan, BBM Bebas Diangkut Kapal Kayu
Foto: KM Sumber Alam Sapeken 2 mengangkut ribuan liter BBM dan sejumlah unit Sepeda listrik.

SUMENEP, Suarademokrasi — Profesionalitas petugas Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kalianget patut dipertanyakan, karena membiarkan KM. Sumber Alam Sapeken 2 terlihat bebas berlayar dari TUKS Gersik Putih Kalianget dengan muatan sejumlah unit sepeda listrik dan ribuan liter BBM jenis solar bersubsidi, Sabtu malam (4/10/2025).

Berdasarkan informasi warga sekitar, KM. Sumber Alam Sapeken 2 itu berkapasitas 61 GT diduga mengangkut BBM sekitar 10 drum solar bersubsidi yang dibeli dari SPBN 5869405 Gersik Putih begitu mudah diijinkan berlayar dari TUKS di Kalianget. Padahal, BBM solar maupun sepeda listrik dengan baterai litium termasuk dalam kategori barang berbahaya (dangerous goods) yang seharusnya diangkut dengan kapal khusus dan memiliki izin pengangkutan bahan berbahaya.

Dugaan pelanggaran regulasi dan lalainya pengawasan KSOP secara hukum, bila mengeluarkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) kepada KM. Sumber Alam Sapeken 2 yang memuat barang berbahaya tanpa sarana keselamatan memadai. Hal itu diatur dalam Pasal 117 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang menegaskan bahwa setiap kapal berlayar wajib memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal, termasuk pemuatan barang berbahaya sesuai jenisnya.

Baca Juga: SPBN 5869405 Kerap Mengisi Solar Diduga Untuk Jaringan Mafia BBM

Selain itu, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 93 Tahun 2013 tentang Pengangkutan Barang Berbahaya di Laut, yang mengatur bahwa pengangkutan BBM dan baterai litium termasuk kategori Class 3 (flammable liquids) dan Class 9 (miscellaneous dangerous goods) sehingga wajib diangkut oleh kapal dengan sistem keselamatan khusus serta pengawasan dari Syahbandar.

Apabila KSOP Kalianget benar telah mengeluarkan izin berlayar bagi KM. Sumber Alam Sapeken 2, maka patut diduga terdapat kelalaian administratif atau bahkan bisa pelanggaran etik jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU 17/2008, yang mewajibkan pejabat KSOP menjamin keselamatan pelayaran dan mencegah pelanggaran hukum di wilayah pelabuhan.

Selain potensi pelanggaran pelayaran, kasus ini juga terindikasi pada penyalahgunaan pendistribusian BBM bersubsidi yang menyentuh ranah hukum migas. Hal itu diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), setiap orang yang melakukan pengangkutan atau niaga BBM tanpa izin usaha niaga dipidana dengan penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp60 miliar.

Lebih lanjut, Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM, menegaskan bahwa BBM bersubsidi hanya boleh digunakan untuk nelayan kecil, transportasi umum, dan masyarakat miskin. Maka dari itu, peran KSOP sangat dibutuhkan untuk ikut mengawasi dan mencegah penyalahgunaan pendistribusian BBM yang diangkut melalui jalur laut.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa SPBN Gersik Putih terlihat rutin mengisi jerigen dengan solar bersubsidi hingga malam hari. BBM tersebut kemudian diangkut menggunakan truk keluar wilayah dan dimuat ke kapal kayu melalui TUKS untuk dikirim keluar wilayah, bahkan kapal kayu KM Tanjung Bahari mendapatkan ijin berlayar memuat 20 ton solar bersubsidi sekali kirim, secara rutin per bulan bisa 2 kali kirim, yang diduga tanpa memiliki izin resmi dari Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) maupun Pertamina sebagai penyedia.

Maraknya peredaran solar bersubsidi di Sumenep diduga melibatkan banyak oknum pejabat dan aparat penegak hukum (APH). Dugaan keterlibatan ini mempengaruhi penegakan hukum dalam sektor migas bersubsidi cenderung tebang pilih, di mana masyarakat kecil ditindak, tetapi jaringan mafia besar dibiarkan terus bebas beroperasi.

Padahal, berdasarkan Pasal 13 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat publik wajib bertindak profesional dan tidak menyalahgunakan kewenangan. Bila terbukti adanya pembiaran, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai maladministrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Selain itu, Polri memiliki kewenangan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana migas berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, sehingga alasan tidak menindak dengan dalih adanya “surat rekomendasi nelayan” tidak dapat dibenarkan secara hukum apabila terbukti ada penyalahgunaan pendistribusian BBM bersubsidi.

Hal ini menimbulkan pemikiran dugaan adanya kejahatan terorganisir (organized crime) dalam pendistribusian BBM bersubsidi, sebagaimana isu dugaan pemberian upeti kepada oknum kepolisian untuk melancarkan usahanya bagi mafia BBM di Sumenep.

Melihat kompleksitas persoalan ini, negara harus hadir, melalui Pertamina dan BPH Migas perlu melakukan audit ketat distribusi solar bersubsidi di wilayah Sumenep, khususnya di SPBN 5869405 Gersik Putih dan SPBU 5469411 di desa Kalianget Barat, serta SPBU dan APMS lainnya. Selain itu, Kementerian Perhubungan bersama Inspektorat Jenderal wajib memeriksa KSOP Kalianget atas pemberian izin berlayar kapal yang membawa barang berbahaya tanpa kelaiklautan yang sah.

Penegakan hukum yang adil harus berpihak kepada rakyat kecil, bukan kepada jaringan mafia yang memperkaya diri dengan merampas hak subsidi nelayan. Negara melalui aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin bahwa subsidi BBM benar-benar sampai kepada penerimanya, sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Sampai berita ini tayang, Kepala KSOP Kalianget tidak memberikan respon atas konfirmasi redaksi yang dilakukan pada hari Senin 6 Oktober 2025.

Exit mobile version