Maling Teriak Maling: Oknum Media Diduga Membekingi Mafia BBM

Maling Teriak Maling: Oknum Media Diduga Membekingi Mafia BBM
Foto: Erfandi Pimpinan Redaksi.

SUMENEP, Suarademokrasi
Pribahasa “Maling Teriak Maling” mungkin jelek untuk didengar, tapi menemukan relevansinya yang cocok di tengah kisruh dugaan penyalahgunaan profesi oleh oknum media. Istilah ini menggambarkan perilaku seseorang yang sebenarnya pelaku BBM, namun justru membuat narasi berita tentang pihak SPBU yang melakukan pelanggaran karena tidak mau memenuhi kepentingan oknum wartawan itu sendiri.

Dalam konteks ini, ungkapan tersebut mengarah pada oknum wartawan sekaligus pemilik media yang diduga terlibat dalam praktik membekingi jaringan mafia BBM solar bersubsidi di Sumenep, dengan adanya peran oknum wartawan yang menyalahgunakan profesinya menyebabkan semakin marak adanya mafia BBM yang memanfaatkan adanya rekom nelayan untuk membeli BBM bersubsidi untuk diperjualbelikan dan hukum menjadi tumpul.

Berdasarkan data dan informasi yang dihimpun redaksi, oknum wartawan yang menggunakan medianya untuk menekan pihak SPBU agar tetap bisa melayani pembelian solar bersubsidi menggunakan rekomendasi (Rekom) milik nelayan lain, untuk komplotannya. Padahal, pihak SPBU sejak menjadi sorotan kini telah memperketat pengawasan penyaluran BBM bersubsidi sesuai aturan yang berlaku, termasuk memastikan bahwa setiap Rekom benar-benar digunakan oleh pemiliknya yaitu nelayan itu sendiri , bukan untuk mafia BBM yang memiliki Rekom nelayan.

Baca Juga: KSOP Kalianget Patut Dipertanyakan, BBM Bebas Diangkut Kapal Kayu

Namun, setelah permintaan oknum tersebut tidak lagi dilayani, muncul pemberitaan di medianya yang menyerang pihak SPBU dan aparat, seolah-olah membela kepentingan masyarakat. Padahal, di balik narasi tersebut, tersimpan modus kepentingan pribadi untuk mendapatkan keuntungan dari praktik penyimpangan distribusi BBM bersubsidi yang dilakukannya dengan melibatkan banyak oknum.

Seorang sumber internal di lingkungan perminyakan menilai, Oknum media itu yang memanfaatkan profesinya untuk menekan SPBU untuk mengamankan jaringan pembeli solar bersubsidi yang tidak berhak. Begitu tidak dilayani, mereka membuat pemberitaan tendensius agar SPBU takut. Modus oknum media seperti ini yang akan mencoreng dunia pers nantinya.

Padahal, dalam regulasi hukum dan etika jurnalistik, fungsi media seharusnya menjadi sosial kontrol — mengawasi dan mengkritisi penyimpangan kebijakan publik — bukan menjadi alat kepentingan kelompok tertentu. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 1 dengan jelas menegaskan bahwa wartawan Indonesia harus menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Artinya, media tidak boleh digunakan untuk menutupi atau membela pelaku pelanggaran hukum, termasuk dalam hal penyelewengan subsidi negara.

Perbuatan seperti ini tidak hanya mencederai marwah profesi wartawan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap fungsi pers sebagai penjaga kebenaran (watchdog).

Maka dari itu, Pribahasa “Maling Teriak Maling” kita berikan kepada seseorang yang sebenarnya bersalah atau melakukan kejahatan, tetapi justru menggunakan medianya untuk menuduh orang lain untuk menutupi kesalahannya sendiri. Dalam kasus ini, ungkapan tersebut tepat disematkan kepada oknum media yang melakukan pembelaan terhadap mafia solar bersubsidi, seolah-olah memperjuangkan kepentingan masyarakat, padahal yang dibela justru kepentingan kelompoknya yang memanfaatkan subsidi BBM.

Dengan kata lain, oknum tersebut yang menggunakan kedok profesi wartawan untuk menyerang pihak yang menjalankan aturan, sementara dirinya justru terlibat dalam praktik yang merugikan negara dan masyarakat kecil, hanya untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya.

Tindakan seperti ini harus menjadi perhatian serius bagi Dewan Pers dan aparat penegak hukum untuk mengambil sikap tegas, karena profesi wartawan adalah profesi mulia yang berperan menjaga transparansi dan keadilan publik. Ketika profesi itu disalahgunakan untuk melindungi mafia BBM, maka yang hancur bukan hanya citra media, melainkan juga kepercayaan rakyat terhadap kebenaran itu sendiri.

Media seharusnya menjadi penjaga moral publik, bukan tameng bagi mafia BBM bersubsidi yang mengeruk keuntungan dari subsidi negara yang seharusnya dinikmati oleh rakyat kecil.

Exit mobile version