SUMENEP, Suarademokrasi – Kasus penganiayaan bersama-sama terhadap tunanetra di Sumenep yang telah ditangani oleh Polres Sumenep, menimbulkan pertanyaan mengenai saudara pelaku Siti Fadilah melaporkan balik korban penyandang disabilitas tunanetra, meskipun proses hukum laporan pertama masih berjalan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun media, laporan pihak saudara pelaku terhadap seorang penyandang disabilitas tunanetra tersebut adalah Susilawati kakak pelaku an. Siti Fadilah, telah melaporkan balik si korban penganiayaan tersebut ke Polsek Batang-Batang pada Jumat, 31 Mei 2024, sebagaimana tertuang dalam Laporan Polisi Nomor: STPL/05/V/2024/JATIM/RESSMP/SEKBTBT.
Kasus ini menjadi perhatian publik mengingat korban adalah seorang penyandang disabilitas yang memerlukan perlindungan khusus. Pihak keluarga pelaku hingga melakukan aksi demonstrasi di depan Mapolres Sumenep, menekan Polres Sumenep agar laporannya juga segera diproses, Jum’at 7 Juni 2024.
Baca Juga: Kasus Penganiayaan Tunanetra Pelapor Minta Pengawalan Media
Hal itu menjadi hak setiap orang untuk berdemokrasi dan mendapatkan keadilan berdasarkan hukum yang berlaku, pelaku memiliki hak untuk melaporkan balik korban jika merasa dirugikan atau jika terdapat dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh korban. Ini diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang memberikan hak yang sama kepada setiap warga negara untuk melapor dan mencari keadilan.
1. KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Pasal 1 angka 24, mendefinisikan laporan sebagai pemberitahuan yang disampaikan seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang mengenai telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Dengan demikian, siapa pun yang merasa dirugikan dapat melaporkan tindak pidana tersebut kepada polisi.
2. UU No. 31 Tahun 2014 Pasal 10, tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan perlindungan hukum atas laporan yang diajukannya. Artinya, pelaku dalam kasus ini juga dapat mengajukan laporan balik jika memiliki dasar hukum yang kuat.
Namun, pelaku yang ingin melaporkan balik harus berhati-hati agar laporan tersebut tidak dianggap sebagai bentuk intimidasi atau upaya menghalangi proses hukum yang sedang berjalan. Pasal 27 UU No. 31 Tahun 2014 juga mengatur tentang perlindungan dari segala bentuk ancaman yang dapat menghalangi atau mengintimidasi saksi dan korban.
Perlu ditegaskan bahwa setiap laporan yang masuk akan diproses secara profesional dan transparan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Pihak Polisi harus berkomitmen untuk menangani setiap laporan dengan serius dan adil, tanpa memandang siapa yang melapor.
Pelaku penganiayaan dapat melaporkan balik jika merasa dirugikan oleh tindakan korban atau jika memiliki bukti kuat adanya tindak pidana yang dilakukan oleh korban. Pelaporan balik ini harus disertai dengan bukti-bukti yang kuat agar dapat diproses oleh pihak kepolisian. Bukan dengan cara beropini di sebuah media atau ancaman aksi demonstrasi.
Meski pelaku memiliki hak untuk melaporkan balik, penting untuk memastikan bahwa proses hukum dilakukan secara adil dan transparan. Pihak kepolisian di Sumenep diharapkan juga dapat menangani kasus ini dengan profesionalisme, menjaga hak-hak korban tunanetra, dan memastikan bahwa setiap laporan ditangani sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Bukan karena tekanan atau mendapat imbalan sesuatu dari pihak-pihak.
Perlu diketahui dampak pemberian kesaksian palsu merupakan tindakan yang serius dan melanggar hukum di Indonesia. Pemberian kesaksian palsu dapat merugikan berbagai pihak korban penganiayaan, menghambat proses penegakan hukum, dan merusak integritas sistem peradilan.
Berikut ini adalah tinjauan regulasi hukum terkait pemberian kesaksian palsu dalam laporan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
1. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur secara jelas tentang pemberian kesaksian palsu. Beberapa pasal yang relevan antara lain:
– Pasal 242 KUHP
Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang yang memberikan keterangan palsu di depan pengadilan atau dalam laporan resmi yang ditujukan untuk kepentingan umum dapat dikenakan sanksi pidana. Isi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
- (1) Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberikan keterangan di atas sumpah atau seharusnya memberikan keterangan di atas sumpah, dengan sengaja memberikan keterangan palsu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
- (2) Jika keterangan palsu itu diberikan dalam perkara pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang ini memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dalam proses peradilan, namun juga memuat ketentuan mengenai kewajiban saksi untuk memberikan keterangan yang benar.
– Pasal 22 UU No. 13 Tahun 2006 menyebutkan bahwa saksi yang memberikan keterangan palsu dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Dalam KUHAP, terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang pemberian kesaksian dan akibat hukum dari kesaksian palsu:
– Pasal 174 KUHAP. Pasal ini menyatakan bahwa hakim berhak mengingatkan saksi untuk memberikan keterangan yang benar dan memberitahukan bahwa memberikan keterangan palsu dapat dihukum.
Pihak APH wajib mengingatkan saksi akan kewajibannya untuk memberikan keterangan yang sebenarnya dan akibat hukum apabila tidak memenuhi kewajiban tersebut.
4. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Mahkamah Agung juga memiliki peraturan terkait pemberian kesaksian palsu. Peraturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua keterangan yang diberikan dalam proses peradilan adalah benar dan dapat dipercaya.
Konsekuensi hukum bagi pemberi kesaksian palsu sangat serius. Pelaku dapat dikenakan hukuman penjara hingga 9 tahun, tergantung pada konteks kesaksian dan dampak yang ditimbulkan.
Selain itu, pemberian kesaksian palsu juga dapat mengakibatkan hilangnya hak-hak tertentu, seperti hak untuk memberikan kesaksian dalam suatu kasus, atau hak-hak sosial tertentu.
Penegakan hukum terhadap pemberian kesaksian palsu memerlukan kerjasama yang baik antara aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya memberikan keterangan yang benar juga sangat penting. Sosialisasi hukum kepada masyarakat dapat membantu mengurangi kasus pemberian kesaksian palsu dan meningkatkan kesadaran hukum.
Pemberian kesaksian palsu merupakan pelanggaran serius terhadap hukum di Indonesia. Regulasi yang ada, termasuk KUHP, KUHAP, dan undang-undang terkait lainnya, telah mengatur dengan jelas konsekuensi bagi pelaku kesaksian palsu.
Penegakan hukum yang tegas dan edukasi kepada masyarakat merupakan kunci untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Dengan demikian, integritas sistem peradilan dapat terjaga dan keadilan dapat ditegakkan secara efektif.
Perlu diingat kepada pihak Polres Sumenep, dalam kasus perkara yang diduga melakukan niat/perencanaan penganiayaan terhadap korban penyandang disabilitas tunanetra yang dilakukan dua hari, dengan membawa sajam berupa celurit dan pisau.
Sampai saat ini pihak kepolisian tidak menerapkan Pasal 2 ayat 1 Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang membawa sajam pada pelaku penganiaya tersebut, yang ancaman hukuman penjara 10 tahun.
Maka dari itu, masyarakat diimbau untuk menghormati proses hukum yang sedang berlangsung dan memberikan dukungan kepada pihak berwenang agar kasus ini dapat diselesaikan dengan baik dan adil, tanpa tendensi dari pihak manapun.