SUMENEP, Suarademokrasi — Dalam kehidupan yang kian penuh kepalsuan dan pencitraan, manusia sering berlomba untuk menjadi berlian—berkilau, dipuji, dan dikagumi banyak orang. Namun sejatinya, kehidupan justru lebih membutuhkan sosok seperti garam: sederhana, tak terlihat, tetapi selalu memberi rasa dan makna dalam kehidupan orang lain.
Berlian memang indah dan berkilau, tetapi hanya dinikmati dari kejauhan. Sementara garam, meski kecil dan tak bercahaya, hadir di setiap hidangan, melebur dalam keikhlasan, memberi makna tanpa pamrih. Dari garam, manusia belajar tentang ketulusan dan peran tanpa sorotan, menjadi kekuatan yang tak terlihat namun selalu bisa dirasakan oleh orang lain.
Garam tidak mencari pengakuan. Ia larut tanpa sisa, memberi rasa tanpa mengharap balas. Maka jadilah seperti garam — yang rela melebur demi kebahagiaan orang lain, yang sederhana tapi memiliki makna besar dalam kehidupan orang. Tidak perlu menjadi sempurna untuk berguna, cukup menjadi bermakna untuk sesama.
Baca Juga: Dampak Maraknya Mafia BBM, Solar Sering Kosong di SPBU
Dalam konteks kehidupan sosial hari ini, pesan sederhana itu semakin relevan. Ketika banyak pejabat publik dan aparat hukum justru menonjolkan kekuasaan, melupakan tanggung jawabnya kepada rakyat, semangat “menjadi garam” adalah pengingat moral yang mendalam.
Rakyatlah yang sejatinya memberi makan dan gaji mereka melalui pajak. Namun ironis, sebagian oknum justru menyalahgunakan kewenangannya untuk menindas rakyat kecil, dan menutup mata terhadap praktik-praktik yang merugikan masyarakat, seperti maraknya mafia BBM di Sumenep yang merampas hak subsidi bagi nelayan dan petani, serta pengendara.
Dalam situasi seperti ini, keikhlasan dan kesederhanaan menjadi kekuatan moral yang langka. Ketika hati manusia lebih memilih kemegahan duniawi daripada ketulusan melayani, kehidupan sosial kehilangan “rasa” — seperti hidangan tanpa garam.
Banyak pihak muncul untuk menjadi pahlawan yang membela perampok hak rakyat, bukan untuk berjuang demi untuk membela yang lemah. Banyak oknum yang menggadaikan profesinya hanya demi untuk duniawi nya, tidak sadar kalau kelak diakhirat akan diminta pertanggungjawabannya.
Karenanya, setiap individu, apa pun perannya, perlu menanamkan semangat untuk menjadi “garam kehidupan”: hadir tanpa pamrih, memberi manfaat tanpa mencari sorotan. Karena kehidupan yang bermakna bukan diukur dari seberapa banyak pujian yang diterima, tetapi dari seberapa besar keberadaan kita memberi kebaikan bagi orang lain.
Sebagaimana garam memberi rasa pada setiap masakan, demikian pula manusia sejati memberi arti bagi kehidupan. Tidak perlu menjadi berlian untuk dihargai oleh orang, cukup menjadi garam yang bisa berguna bagi sesama.
Ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang mendatangkan kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain, baik di dunia maupun akhirat, serta mendorong pemiliknya untuk beramal, bertakwa kepada Allah, dan memiliki akhlak yang baik. Bukan malah digunakan untuk melindungi orang yang mengambil hak rakyat kecil, seperti BBM yang disubsidi oleh pemerintah untuk rakyat kecil justru dibiarkan diambil oleh para mafia beserta komplotannya.