Dewan Pers Tegaskan Kebebasan Pers, Laporan Wartawan di SP3 Menjadi Ancaman

Dewan Pers Tegaskan Kebebasan Pers, Laporan Wartawan di SP3 Menjadi Ancaman
Foto: Ilustrasi
banner 120x600

SUMENEP, Suarademokrasi – Dewan Pers melalui surat pernyataan sikap Nomor 02/P-DP/IX/2025 kembali menegaskan komitmennya untuk menjaga kemerdekaan pers di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan melalui surat edaran yang dibuat di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, pada 28 September 2025, atas adanya pengaduan terkait pencabutan ID Card reporter CNN Indonesia yang bertugas di lingkungan Istana Kepresidenan.

Dalam sikap resminya, Dewan Pers menyampaikan empat poin penting, antara lain meminta Biro Pers Istana memberikan penjelasan atas pencabutan ID Card tersebut, mengingatkan semua pihak untuk menghormati Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta menegaskan agar akses peliputan wartawan CNN Indonesia segera dipulihkan. “Kebebasan pers adalah amanah konstitusi dan tidak boleh dihambat oleh pihak manapun.”

Seruan Dewan Pers tersebut menjadi relevan bila dikaitkan dengan sejumlah kasus di daerah, termasuk di Kabupaten Sumenep. Beberapa kali redaksi melaporkan adanya pelarangan saat melakukan liputan investigatif, antara lain pada proyek pembangunan gedung baru MAN Sumenep dan proyek Terminal Arya Wiraraja yang dibiayai APBN. Namun, laporan media ke Polres Sumenep atas dugaan pelanggaran Pasal 18 ayat (1) UU No. 40/1999 tentang Pers selalu berakhir dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Baca Juga: Menghambat Tugas Jurnalistik Dengan Melarang Media Memfoto Pekerjaan Proyek

Berdasarkan dokumen resmi Polres Sumenep bernomor B/1833/IX/2025/Satreskrim, tertanggal 25 September 2025, laporan terkait penghalangan kerja jurnalis di proyek Terminal Arya Wiraraja dinyatakan dihentikan penyelidikannya dengan alasan “belum ditemukan adanya peristiwa pidana.” Keputusan tersebut diambil melalui gelar perkara internal penyidik tanpa melibatkan pelapor.

Secara hukum, Pasal 4 ayat (2) dan (3) UU No. 40 Tahun 1999 menegaskan bahwa pers berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi, serta tidak dapat dikenakan sensor atau pelarangan penyiaran. Lebih lanjut, Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000.”

Baca Juga :  Mungkinkah Fikri-Unais Melawan Fauzi-Imam Dalam Pilkada Sumenep 2024

Dengan demikian, laporan media terkait pelarangan liputan sesungguhnya telah memiliki dasar yuridis yang kuat. Apabila SP3 terus-menerus dikeluarkan tanpa menghadirkan pelapor dalam gelar perkara, maka timbul pertanyaan serius tentang transparansi penegakan hukum. Hal ini dapat menimbulkan preseden buruk, sebab pelaku penghalangan kerja jurnalistik tidak mendapatkan efek jera, sementara iklim kebebasan pers di daerah menjadi terancam.

Lemahnya penegakan hukum dalam kasus-kasus tersebut bukan hanya melukai hak konstitusional wartawan, tetapi juga berdampak pada hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Apalagi proyek-proyek yang menjadi objek peliputan dibiayai oleh APBN yang dipungut dari uang pajak rakyat, sehingga membutuhkan pengawasan publik melalui kerja jurnalistik. Tanpa jaminan kebebasan pers, potensi terjadinya penyimpangan anggaran maupun lemahnya akuntabilitas pembangunan semakin besar, sehingga cenderung anggaran proyek dikorupsi.

Kasus pencabutan ID Card wartawan CNN Indonesia di Istana dan adanya SP3 berulang yang dikeluarkan oleh Polres Sumenep, kebebasan pers masih menghadapi tantangan serius, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dewan Pers telah menyerukan penghormatan terhadap tugas jurnalis, namun tanpa penegakan hukum yang konsisten, kebebasan pers berpotensi hanya menjadi retorika.

Oleh sebab itu, seluruh pihak—terutama aparat penegak hukum—perlu menjadikan UU Pers sebagai pedoman utama dalam menangani kasus yang melibatkan kerja jurnalistik. Transparansi, akuntabilitas, dan keberanian menegakkan hukum adalah syarat mutlak agar kebebasan pers di Indonesia tetap hidup dan berfungsi sebagai pilar demokrasi.