SUMENEP, Suarademokrasi – Paradoks penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Dana Desa (DD) di Sumenep mencerminkan lemahnya tata kelola pemerintahan daerah yang berorientasi pada seremonial, bukan kebutuhan vital masyarakat. Pemerintah daerah harus segera melakukan evaluasi mendalam, memastikan anggaran uang pajak rakyat diarahkan untuk perbaikan jalan, pengelolaan sampah, layanan kesehatan, pendidikan, serta keamanan lingkungan.
Jangan sampai alokasi APBD maupun DD di Kabupaten Sumenep menuai polemik. Sejumlah masyarakat menilai, anggaran pemerintah daerah hingga desa lebih banyak terserap untuk kegiatan seremonial yang hanya dirasakan oleh kepentingan kelompok tertentu, sementara kebutuhan vital masyarakat masih diabaikan. Program ketahanan pangan melalui Bumdes hanya dirasakan oleh orang tertentu saja.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar terkait komitmen pemerintah dalam menjalankan amanat undang-undang. Padahal, secara konstitusional, anggaran negara dan daerah yang dipungut dari uang pajak rakyat sejatinya diprioritaskan untuk kesejahteraan rakyat. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa APBN maupun APBD harus dikelola secara terbuka dan bertanggung jawab demi kemakmuran hidup rakyat.
Baca Juga: Dugaan Penyalahgunaan Dana BUMDes, Peran Camat Dipertanyakan
Hal serupa diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya, menegaskan anggaran diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan rakyat. Di tingkat daerah, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga mengamanatkan belanja daerah harus diprioritaskan pada pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan, dan penataan lingkungan.
Namun realitas di Sumenep menunjukkan hal sebaliknya. Banyak ruas jalan utama dibiarkan rusak dan membahayakan pengendara, bahkan menimbulkan kecelakaan. Pengelolaan sampah pun tidak tertata, sampah dibiarkan berserakan di pinggir jalan raya yang menimbulkan persoalan lingkungan dan kesehatan. Sekolah negeri masih membebani orang tua murid dengan pungutan berkedok komite. Ironisnya, pada saat yang sama, kegiatan seremonial dengan anggaran besar terus digelar.
Tidak hanya APBD, penggunaan Dana Desa di beberapa desa, khususnya di Kalianget juga dinilai minim pengawasan dan rawan penyalahgunaan. Permendesa PDTT No. 7 Tahun 2021 sejatinya telah mengatur prioritas DD untuk pemulihan ekonomi, peningkatan kualitas hidup masyarakat, serta pembangunan sarana prasarana desa. Sayangnya, di desa Kalianget Barat, DD justru dipakai untuk kegiatan seremonial dan program formalitas belaka, BLT DD hanya diberikan kepada orang terdekat RT dan perangkat desa saja.
Uang pajak rakyat yang dibayarkan kepada negara kemana? Setiap tahun orang tua murid pasti ada sumbangan di sekolah dengan bermacam modus, jalan di desa makin rusak tanpa ada perbaikan atau pemeliharaan. Tapi DD malah dialokasikan pada kegiatan seremonial. Sampah juga tidak pernah dikelola dengan serius. Terus apa manfaatnya fungsi Dana Desa kalau begini?
Peran Camat dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) patut untuk dipertanyakan? Camat yang digaji dari uang pajak rakyat dan difasilitasi dinas yang digunakan dibeli uang rakyat, seharusnya mampu menghadirkan inovasi untuk memajukan pertumbuhan ekonomi. Demikian pula BPD yang dibiayai dari APBDes, seharusnya berfungsi sebagai lembaga kontrol. Namun, kenyataannya peran keduanya minim berfikir inovasi untuk kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Itulah dampak buruknya pemilihan BPD di Desa Kalianget Barat dipaksakan hanya untuk kepentingan politik. Akibatnya, saat BPD disahkan, lembaga ini hanya menjadi formalitas belaka dalam struktur pemerintahan desa tanpa menjalankan fungsi pengawasan yang nyata. Kondisi ini mencerminkan Disfungsional kelembagaan.
Kegagalan Camat dan BPD menjalankan pengawasan merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Mereka digaji dari uang rakyat, seharusnya memiliki pemikiran dan gagasan yang cemerlang untuk melakukan inovasi pertumbuhan perekonomian masyarakat, bukan malah hanya bekerja administratif, melainkan substantif untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Tanggung jawab itu berada di pundak bupati. Penunjukan camat maupun kepala OPD yang minim kualitas dan integritas mencerminkan lemahnya komitmen kepala daerah. Jika kursi jabatan hanya diisi berdasarkan loyalitas politik, maka rakyatlah yang menjadi korban. Dalam hal BPD, pemerintah daerah wajib memastikan proses pemilihannya yang transparan, partisipatif, dan benar-benar mencerminkan aspirasi warga, bukan malah menuruti kepentingan politik.
Bila kita melihat dari sisi hukum keuangan negara, penggunaan APBD dan DD yang lebih mengutamakan seremonial dibanding kebutuhan vital jelas bertentangan dengan asas efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003. Jika dibiarkan, praktik ini berpotensi menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan bahkan menyeret aparat desa maupun pejabat daerah ke ranah hukum.
Selain itu, peran pejabat dan aparat penegak hukum juga dipertanyakan. Inspektorat, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan negeri yang digaji dari uang pajak rakyat seharusnya bekerja untuk rakyat. Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya: mereka kerap mandul saat kasus korupsi melibatkan pejabat pemerintah. Polisi justru lebih sering dijadikan pagar penghalang demonstrasi rakyat daripada mengusut pelaku korupsi secara serius.
Seperti kasus pemotongan BLT DD di Saobi, sudah lebih dari dua tahun tanpa kepastian hukum. Begitu pula kasus dugaan suap terkait 250 JT perkara BSPS di Sumenep yang melibatkan oknum penyidik Polres Sumenep, dan Dalang kasus Curanmor N-Max hingga kini masih tidak ada kepastian hukum. Sebaliknya, bila perlu pencurian melibatkan orang kecil atau OTT terhadap oknum LSM, petugas kepolisian langsung bergerak cepat diproses.
Hal itu menunjukkan rasa keadilan tidak ada bagi rakyat kecil. APBN dan APBD yang dihasilkan pajak rakyat justru lebih banyak diarahkan untuk proyek gedung mewah baru DPRD, kejaksaan, pengadilan negeri, maupun kantor kepolisian. Sementara, kebutuhan vital masyarakat yang membayar pajak diabaikan, meski kemerdekaan RI sudah 80 tahun, rakyat masih terus diperas keringatnya untuk membayar pajak, sementara banyak oknum pejabat pemerintah dan oknum DPRD justru terjerat kasus korupsi. Namun, hukum kerap tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Maka dari itu, mendesak pihak pemerintah untuk mengevaluasi total pengelolaan APBD dan DD. Anggaran harus diarahkan untuk pembangunan yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat: perbaikan jalan, pengelolaan sampah, kesehatan, pendidikan, dan keamanan lingkungan. Bukan malah memprioritaskan kegiatan seremonial, tetapi mengorbankan kebutuhan vital masyarakat.