Berita  

Negara Tidur di Atas Punggung Petani: Jeritan Rakyat Kecil Tidak Didengar

Negara Tidur di Atas Punggung Petani: Jeritan Rakyat Kecil Tidak Didengar
Foto; Fauzi pengusaha Mami Muda.
banner 120x600

Oleh: Fauzi AS
Pengusaha Muda dan Pemerhati Ekonomi Rakyat Kecil

Di tengah gegap gempita pembangunan yang selalu didengungkan para pejabat negara, suara lirih rakyat kecil kerap diabaikan: suara petani tembakau, pengusaha kecil, dan pekerja industri rumahan yang setiap hari berjuang mengais rezeki dari hasil bumi negeri warisan dari nenek moyangnya. Sebagai pengusaha kecil yang lahir dari rahim Madura, Sumenep, saya merasa perlu berbicara lantang mewakili suara rakyat kecil yang kian hari kian tertindih beban regulasi negara yang tak adil.

Cukai Rokok: Pajak atau Pemalakan Regulatif? Saya enggan menyebut penerimaan negara dari cukai rokok sebagai penerimaan negara dalam makna sukarela. Karena yang terjadi sesungguhnya adalah pemaksaan, pemalakan regulatif yang dilegalkan oleh sistem. Cukai rokok bukan sekadar pajak, tetapi bentuk pemerasan negara kepada rakyat kecil yang menggantungkan hidup dari industri tembakau.

Mari kita lihat secara jernih. Bahkan sebelum tembakau dipetik, sebelum daun dirajang, sebelum kertas membungkus, negara sudah memungut hasil melalui cukai. Petani menanam dengan penuh harap, pengusaha kecil memproduksi dengan doa, tetapi oknum pejabat negara datang dengan seragam dan palu besar bernama “cukai” untuk memukul mereka sebelum sempat berdiri.

Baca Juga: Ketidakadilan Hukum: Perahu Pengangkut Rokok Ilegal Ditangkap, Pemilik Perusahaan Bebas Melenggang

Industri kecil rokok di Madura dijadikan alat ATM bagi para oknum pejabat negara dengan baju seragam kebanggaannya yang dibeli dari uang pajak rakyat digunakan untuk menindas dan menakuti rakyat kecil, agar mau memberikan opeti untuk dirinya dan institusi yang dinaunginya.

Produk apa yang pajaknya bisa 3-4 kali lipat dari harga pokok produksinya? Jawabannya: rokok. Harga pokok produksi rokok hanyalah sekitar 25-30% dari harga jual. Namun, cukai yang dipungut negara bisa mencapai 120-200% dari harga pokok produksi. Jika digabungkan dengan PPN dan pajak rokok lainnya, beban pajak bisa berkali lipat lipat dari biaya produksi asli. Ini adalah bentuk ketidakadilan fiskal yang nyata.

Baca Juga :  Diduga Sunat Anggaran BSPS, Kades Kalimo’ok dan Pendamping Ikut Terlibat

Negara Ambigu: Mengharamkan rokok ilegal yang diproduksi oleh rakyat kecil, Tapi Memanfaatkan hasilnya. Ironisnya, para elite pejabat kerap berkoar soal bahaya rokok, mengharamkan secara moral demi “melindungi generasi bangsa.” Namun, di saat bersamaan, pendapatan negara dari cukai rokok menjadi tulang punggung APBN. Negara menikmati miliaran rupiah dari hasil perasan keringat dan jerih payah petani tembakau, namun menyebut industri ini sebagai barang najis.

Inilah hipokrisi birokrasi. Mereka jijik melihat ‘kotoran sapi’, tapi diam-diam mencium aroma uang dari balik tumpukan daun tembakau itu. Di sisi lain, nasib petani tembakau, sopir travel, nahkoda kapal kayu dan pengusaha kecil justru dibiarkan terpuruk menjadi sasarannya.

Regulasi seperti itu telah menciptakan lingkaran setan bagi petani dan pengusaha kecil. Mereka bukanlah penjahat yang ingin meracuni bangsa, tetapi sekadar ingin bertahan hidup demi keluarga. Tembakau ditanam dengan keringat sendiri, diproses oleh usaha rumahan, namun dipukul oleh aturan negara yang berat sebelah.

Yang besar bisa melobi, yang kecil terpaksa menyelundup atau gulung tikar. Ketika rokok ilegal muncul, negara justru menyalahkan rakyat kecil, bukan sistem yang cacat. Bahkan sopir travel, nahkoda kapal laut yang mengangkut rokok kecil bisa diperlakukan seperti kriminal kelas kakap, padahal mereka hanyalah kepala keluarga yang berjuang memenuhi kebutuhan makan anak dan istrinya. Sedangkan para Koruptor yang merampok uang negara dibiarkan tidak tersentuh oleh hukum.

Jangan bunuh rakyat kecil, tapi bina sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Saya tidak menafikan bahwa negara membutuhkan pendapatan. Namun mengambil dari yang lemah bukanlah solusi. Itu hanya mencerminkan keberanian semu negara terhadap yang kecil, sedangkan para Koruptor dibiarkan begitu saja tanpa ada tindakan nyata.

Baca Juga :  Festival Desa Wisata Sumenep 2024 Sukses Menyedot Ribuan Pengunjung

Solusinya adalah Cukai Berjenjang yang Adil: Tarif cukai harus dibedakan secara signifikan antara industri besar dan UMKM rokok kecil. Jangan samakan yang mampu melobi dengan pengusaha kecil di pinggiran pasar.

Insentif Nyata untuk Petani Tembakau: Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) harus benar-benar mengalir ke petani, bukan hanya habis di meja dinas dan seminar seremonial.

Legalitas Produksi Skala Kecil: Negara harus memberi ruang legal kepada industri rumahan. Syarat sertifikasi yang ringan, pengawasan yang adil, dan pendampingan yang nyata.

Negara yang adil tidak membiarkan rakyat kecil tersungkur demi menyehatkan kas negara. Cukai bukan Tuhan yang mengatur hidup tanpa memberikan kehidupan. Para petani, pengusaha kecil, dan sopir travel setiap Nahkoda kapan kayu hanya ingin satu hal: jangan bunuh kami dengan regulasi, lalu hidup mewah dari air mata rakyat.

Saya tidak sedang membenarkan yang salah, tetapi ingin menyampaikan jeritan yang lama dikubur. Suara rakyat kecil ini perlu didengar di telinga pejabat dan regulasi yang selama ini tuli.

Editor’s Note:
Tulisan ini merupakan opini pribadi narasumber yang kami tayangkan sebagai bagian dari upaya menghadirkan keberagaman pandangan publik.