SUMENEP, Suarademokrasi – Kinerja aparat penegak hukum di Kabupaten Sumenep kembali menjadi sorotan tajam. Ketua Ormas Brigade 571 Trisula Macan Putih (TMP) Koordinator Wilayah Madura, Sarkawi, menilai penanganan kasus dugaan pelanggaran hukum oleh lima pelabuhan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) yang beroperasi tanpa izin, yang ditangani oleh Satreskrim Polres Sumenep dinilai sangat lamban dan tidak mencerminkan keadilan substantif.
Menurut Sarkawi, pelabuhan-pelabuhan TUKS tersebut diduga tidak mengantongi izin reklamasi dan izin lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ironisnya, pelabuhan-pelabuhan itu tetap dioperasikan untuk aktivitas bongkar muat barang ke wilayah kepulauan sejak tahun 2010 tanpa pengawasan berarti.
“Situasi ini memperlihatkan adanya pembiaran sistemik oleh aparatur penegak hukum (APH) dan Pemerintah Kabupaten Sumenep,” ujarnya, Sabtu (4/7/2025).
Baca Juga: Sarkawi Ketua BRIGADE 571 Soroti Kinerja Polres Sumenep
TikTok: https://vt.tiktok.com/ZSBAkjs7s/
Lebih lanjut, Sarkawi menyebut bahwa penggunaan pelabuhan yang diduga ilegal tersebut bahkan pernah terkait dengan insiden kebakaran kapal pengangkut BBM bersubsidi dalam jumlah besar. Dugaan kuat muncul bahwa pelabuhan ini menjadi jalur distribusi ilegal bahan bakar bersubsidi, yang justru tidak dinikmati oleh nelayan dan petani selaku kelompok penerima manfaat.
“BBM subsidi yang seharusnya untuk masyarakat kecil justru dimanfaatkan para mafia untuk kepentingan pribadi. Kami mengantongi laporan dari nelayan kepulauan yang mengaku tak pernah menerima jatah subsidi itu,” ungkapnya.
Selain aspek legalitas, pelabuhan tersebut juga dinilai menimbulkan keresahan sosial. Akses jalan desa Kalianget Timur rusak parah akibat lalu lintas truk pengangkut material, yang keluar masuk tanpa batas waktu, siang dan malam. Warga sekitar pun terganggu, namun tidak ada tindakan konkret dari pemerintah maupun aparat keamanan.
Sarkawi menilai, lambannya proses hukum yang telah dilaporkan sejak tahun 2021 di Polres Sumenep menandakan ketidaktegasan APH dalam mengusut perkara yang menyangkut kepentingan publik. Ia menduga adanya praktik diskriminatif dalam penegakan hukum yang lebih condong melindungi kepentingan pengusaha dibanding masyarakat.
“Kami minta semua pihak, terutama APH dan pejabat publik di Sumenep, untuk kembali pada prinsip keadilan. Jangan sampai hukum dijadikan alat melindungi elite atau pemodal semata,” tegasnya.
Tidak adanya peraturan yang mengatur lamanya waktu penyelidikan/penyidikan membuat peluang bagi penyidik untuk mengulur tanggungjawabnya sebagai APH yang digaji dari uang pajak rakyat tidak bekerja secara profesional, sehingga tidak bisa dipermasalahkan secara hukum.
Lambatnya proses hukum yang ditangani oleh Satreskrim Polres Sumenep membuat terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Kepolisian. Hukum tidak lagi mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat kecil yang telah berkontribusi terhadap bangsa dan negara.
Maka dari itu, di hari Bayangkara ke-79 tahun ini Sarkawi berharap ada evaluasi terhadap kinerja kepolisian khususnya dalam penegakan hukum di wilayah Sumenep demi untuk memberikan kepercayaan untuk masyarakat luas.
Sementara itu, Okta selaku Kanit Pidana Khusus Satreskrim Polres Sumenep ketika dikonfirmasi media melalui pesan WhatsApp menyatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) kepada pelapor. Ia pun menyarankan agar media mengonfirmasi langsung kepada pelapor terkait perkembangan kasus tersebut.
“Kalau berkaitan laporan TUKS silahkan nanya sama pak sarkawi sebagai pelapor, sudah kita kirimkan SP2HP,” jawabnya melalui chat WhatsApp kepada redaksi, Jumat 4 Juni 2025.
Okta tidak memberikan penjelasan tentang penyebab lambannya dalam penanganan laporan pengaduan masyarakat, hingga bertahun-tahun belum juga ada kepastian hukum kepada masyarakat. Kinerja kepolisian Republik Indonesia saat ini dimata masyarakat dinilai buruk, karena pembiaran ulah para oknum anggota polisi yang tidak profesional.
Menanggapi kondisi ini, penulis mengambil pernyataan akademisi dan tokoh hukum nasional, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra kembali relevan. Ia menyebut bahwa penegakan hukum di Indonesia saat ini telah kehilangan keadilan dan kepastian.
“Demokrasi kita centang perenang, karena hukum tidak ditegakkan dengan satu pandangan bersama. Tiap institusi menjalankan hukum menurut selera masing-masing,” ujar Yusril.
Ia menekankan pentingnya konsistensi dan visi tunggal dalam penegakan hukum agar negara tidak terus-menerus tertinggal secara ekonomi dan sosial akibat bobroknya sistem hukum.
Kondisi hukum di Sumenep, sebagaimana disorot dalam kasus pelabuhan TUKS ini, mencerminkan persoalan serius yang menghambat demokrasi dan keadilan sosial. Jika tidak segera ditangani secara tegas dan transparan, maka wibawa hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap negara, khususnya terhadap kinerja APH akan terus tergerus.