SUMENEP Suarademokrasi, 31 Juli 2024 – Kasus dugaan pemotongan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) di Desa Saobi, Kecamatan Kangayan, Kabupaten Sumenep, menjadi sorotan publik akibat lambannya penanganan hukum. Meski sudah dilaporkan sejak April 2023, hingga kini kasus tersebut belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.
Laporan awal kasus ini diajukan oleh masyarakat melalui Lembaga Komunitas Pengawas Korupsi (L-KPK) Mawil Sumenep ke Kejaksaan Negeri Sumenep. Dalam laporan tersebut, warga Saobi menduga perangkat desa memotong bantuan yang seharusnya mereka terima penuh sebesar Rp 900.000/KPM.
Berdasarkan Surat Pernyataan yang ditandatangani oleh sejumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dari tiga dusun di Desa Saobi, pada hari Ahad 10 April 2022 yang dicairkan melalui petugas bank BPRS. Bantuan BLT DD yang seharusnya sebesar Rp 900.000,- hanya diberikan sebesar Rp 300.000,- oleh oknum perangkat desa setempat kepada para penerima manfaat.
Baca Juga: Oknum Perangkat Desa Diduga Memotong BLT DD Sampai Rp. 600.000,-/KPM
Setelah laporan diterima oleh Kejaksaan Negeri Sumenep, kasus ini dilimpahkan ke Inspektorat Sumenep. Sebelumnya, Ananta Yuliarto menjelaskan kepada Media bahwa pelimpahan kasus tersebut sejak tanggal 22 Agustus 2023. Karena alasan masih banyak kerjaan, pihak Inspektorat berjanji akan menindaklanjuti laporan tersebut.
Namun hingga saat ini, belum ada penetapan tersangka atau perkembangan signifikan yang diumumkan ke publik. Penundaan ini memicu kekecewaan masyarakat, dan menilai penegakan hukum di Sumenep sangat lemah dan lamban.
Pihak Inspektorat Sumenep, diwakili oleh Jupri, Inspektur Pembantu (Irban) 5, berkali-kali memberikan janji akan segera menindaklanjuti kasus tersebut. Dalam pernyataan terakhirnya pada 30 Juli 2024, Jupri mengatakan bahwa beliau sudah melakukan pemeriksaan terhadap beberapa pihak terkait, termasuk perangkat desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan Bank BPRS yang mencairkan dana tersebut.
“Tunggu aja pasti tetap ditindaklanjuti. Kami sudah melakukan pemeriksaan dari beberapa pihak yang terkait. Tinggal menunggu kami turun ke lokasi untuk menanyakan kepada setiap penerima,” ujar Jupri.
Namun, alasan yang diberikan untuk menunda investigasi ke lapangan, seperti kondisi ombak yang tidak mendukung yang dijadikan alasan kali ini. Hal itu menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan dan komitmen pihak berwenang dalam menangani kasus ini.
Lambannya penanganan kasus ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum di Sumenep, khususnya dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan orang yang memiliki jabatan atau kekuasaan, kalau rakyat kecil yang melanggar tidak butuh lama untuk memprosesnya.
Maka dari itu, Masyarakat berharap adanya tindakan tegas dan cepat dari pihak pihak yang berwenang khususnya aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus ini dan memberikan keadilan bagi para korban. Hal ini penting tidak hanya untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum di Indonesia.
Penanganan laporan kasus dugaan pemotongan anggaran BLT DD ini seharusnya tidak memakan waktu lama hingga harus berjalan setahun lebih. Penundaan yang berkepanjangan dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
Dalam konteks hukum Indonesia, beberapa peraturan mengatur waktu dan proses penanganan kasus korupsi agar dapat diselesaikan secara efisien dan efektif:
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan: Pasal 53: Pegawai pemerintahan harus segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah administrasi dan hukum yang terjadi dalam lingkup kewenangannya. Penundaan tanpa alasan yang sah dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian atau kesengajaan yang dapat dikenakan sanksi.
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: Pasal 21: Setiap penyelenggara pelayanan publik wajib menetapkan standar pelayanan, termasuk waktu penyelesaian, untuk menjamin kejelasan dan kepastian bagi masyarakat.
3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pedoman Mengadili Perkara Tindak Pidana Korupsi: Pasal 10 ayat (1): Mengatur bahwa pengadilan negeri wajib menyelesaikan pemeriksaan perkara korupsi paling lama dalam waktu 5 bulan sejak perkara tersebut didaftarkan di pengadilan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan pelaporan dugaan tindak pidana korupsi serta mengatur mekanisme pengaduan dan penanganan laporan tersebut.
Untuk memastikan kasus dapat diselesaikan dengan cepat, perlu ada:
– Kepastian waktu: Pihak berwenang harus menetapkan dan mematuhi batas waktu penanganan kasus.
– Transparansi: Proses penanganan kasus harus dilakukan secara transparan untuk membangun kepercayaan publik.
– Akuntabilitas: Penanggung jawab penanganan kasus harus bertanggung jawab atas setiap tahap proses dan memberikan laporan kemajuan yang jelas.
Jika lembaga penegak hukum atau instansi pemerintahan gagal menangani kasus dalam waktu yang wajar, masyarakat dan pihak yang dirugikan dapat mengajukan pengaduan kepada lembaga pengawas seperti Ombudsman atau meminta bantuan dari lembaga advokasi hukum untuk menuntut penyelesaian yang lebih cepat.