Madura  

Keadilan Harus Ditegakkan: Polemik Eksekusi Putusan PTUN, Ini Penjelasan Akademisi

Keadilan Harus Ditegakkan: Polemik Eksekusi Putusan PTUN, Ini Penjelasan Akademisi
Foto: Ilustrasi tentang penegakan dan keadilan hukum yang dilambangkan dengan Dewi keadilan
banner 120x600

SUMENEP – Suara Demokrasi | Keadilan hukum harus ditegakkan, dalam sebuah diskusi yang digelar oleh Akademisi dan Mahasiswa di salah perguruan tinggi di Sumenep, putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang kini trending menjadi polemik dikalangan masyarakat menjadi topik utama untuk diskusi, Kamis 10/2/2022.

Untuk menegakkan keadilan hukum, diskusi tersebut digelar oleh Akademisi karena adanya pertanyaan dari salah satu Mahasiswa Pengantar Hukum Indonesia (PHI), menanyakan tentang mekanisme dan Badan yang bisa melakukan eksekusi terhadap tergugat atau pejabat yang tidak mau melakukan perintah/putusan dari PTUN, yang kini menjadi polemik.

Guna untuk menegakkan keadilan hukum, polemik sengketa putusan PTUN tersebut menjadi materi kuliah dan pemahaman kepada segenap Mahasiswa didiknya, Akademisi Dr. Moh. Zeinudin, M, Hum, yang biasa dipanggil dengan nama sapaan Bapak Zein, melalui Chanel YouTube Azka Zein memberikan penjelasan dan jawaban Mahasiswa tersebut. Dan menjabarkan beberapa mekanisme yang harus dilakukan dan siapa Badan yang bisa melakukan eksekusi terhadap pejabat yang tidak mau melaksanakan putusan PTUN tersebut.

Baca Juga:

Apapun alasannya keadilan hukum itu harus di tegakkan, Akademisi menyampaikan bahwa sebelum membahas polemik sengketa putusan PTUN, perlu anda pahami putusan dikatakan bisa memiliki kekuatan hukum tetap itu, bilamana tidak ada upaya hukum lagi dari tergugat. Berbeda dengan eksekusi dalam hukum acara perdata, karena eksekusi hukum acara perdata lebih mudah daripada eksekusi keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Menurut Akademisi, kalau mekanisme eksekusi dalam perkara perdata penggugat hanya mengajukan ke pengadilan, nanti Pengadilan Negeri (PN) yang akan melakukan eksekusi, karena PN memiliki instrumen untuk menggerakkan petugas keamanan untuk melakukan eksekusi secara paksa terhadap benda yang masih dikuasai oleh pihak tergugat. Jadi sangat mungkin bila tergugat atau lawan masih mempertahankan barang tersebut meskipun sudah kalah dalam putusan pengadilan.

Baca Juga :  Terharu, Seorang Istri Kades Yang Sakit Diantar Menaiki Caktor

Tapi berbeda kalau Perkara Tata Usaha Negara, contoh dalam pemilihan Kepala Desa, Bupati mengangkat calon Kades yang menang dengan mengeluarkan Putusan Tata Usaha Negara. Sangat mungkin putusan yang dikeluarkan oleh Bupati tersebut bisa merugikan pihak lain, sehingga pihak yang dirugikan tersebut bisa melakukan gugatannya ke PTUN.

Setelah digugat ke PTUN ada dua kemungkinan, yang pertama pihak penggugat menang (dalam arti permohonan penggugat dikabulkan gugatannya), yang kedua penggugat juga bisa kalah kemudian putusan tata usaha yang dikeluarkan oleh Bupati dikuatkan/dilanjutkan.

Dalam konten diskusi tersebut Zein menjelaskan beberapa mekanisme bahwa, bila mana putusan di PTUN dimenangkan oleh penggugat, cara mekanisme yang bisa dilakukan mengacu pada UU No.5 tahun 1986 yang dirubah pada UU No.9 tahun 2004, kemudian dirubah lagi pada UU No.51 tahun 2009, yang ditetapkan pada tanggal 29 Oktober tahun 2009 oleh Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono.

Dan perlu diketahui PTUN dalam putusannya dapat memerintahkan kepada Bupati untuk membatalkan putusan tata usaha negara yang mengangkat Kades yang sudah terpilih, yang kedua PTUN juga bisa memerintahkan untuk mencabut, yang ketiga PTUN bisa juga memerintahkan untuk mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang baru, hal itu diatur di pasal 97 ayat 9.

Ketika Bupati menerima putusan dari PTUN untuk mencabut/membatalkan, maka pada saat itulah seharusnya langsung dilakukan eksekusi, hal itu yang dikatakan eksekusi otomatis.

Dan Zein menegaskan, bila ada seorang pejabat atau Bupati yang tidak mau melakukan atau melaksanakan putusan dari PTUN, hal itu tidak bisa dilakukan paksa seperti putusan PN pada perkara perdata. Tapi ada mekanismenya sendiri.

Bila putusan PTUN tidak di indahkan atau tidak dilaksanakan sepenuhnya atau tidak dilaksanakan sama sekali. Mikanismenya diatur di pasal 116 di ayat 5 menjelaskan sanksi administrasi yang akan dilakukan oleh pejabat diatasnya.

Baca Juga :  Dinilai Rapor Merah Dan Publik Tidak Percaya Kinerja Kejari Sumenep

Maka dari itu, Akademisi Dr. Moh. Zeinudin, M, Hum, menjelaskan secara detail bahwa, teori tersebut juga perlu dilakukan upaya paksa dan sanksi administrasi yang akan diberikan tergantung dari pejabat yang diatasnya, karena di UU tidak dijabarkan sanksi administrasi tersebut.

Mikanismenya yang kedua diatur di pasal 116 di ayat 5 yang berbunyi, patuh tidak patuh terhadap putusan PTUN tersebut selama 90 hari kerja, bisa diumumkan di media massa.

Mikanismenya yang ketiga diatur di pasal 116 ayat 4 yang mengatur tentang sanksi uang paksa atau sanksi administratif.

Bila ke-3 mekanisme tersebut tidak dihiraukan oleh pejabat atau Bupati yang menjadi tergugat, yang bisa melakukan eksekusi paksa terhadap pejabat tersebut adalah badan atau pejabat tertinggi yaitu adalah Presiden RI, hal itu diatur dalam UU no.51 tahun 2009 pasal 116 ayat (6)

Akademisi selalu perpesanan kepada segenap Mahasiswa didiknya agar bisa menjadi orang memiliki sifat yang Arif dan bijaksana dalam menegakkan hukum dan keadilan, semoga ilmu yang sudah didapat kelak bisa bermanfaat untuk diri sendiri dan bisa membantu masyarakat lemah yang membutuhkan bantuan.